cerpenku

PUISI YUSUF

Udara pagi yang segar mengiringi langkah anak – anak bangsa yang menimba ilmu di sekolah. Matahari pagi masih mengintip malu – malu. Hujan semalam masih menyisakan kubangan – kubangan air di pinggir – pinggir jalan desa.
Seperti anak – anak yang lain, pagi itu Yusuf sudah sampai di ujung halaman sekolahnya yang tidak berpagar. Namun ia heran, kenapa teman – temanya berkerumun di depan pintu ruang guru. Ia pun bergegas menghampiri kerumunan itu dan berusaha mengintip dari sela – sela teman – temannya, tapi gagal karena badannya yang kurus.
“Ada apa, sih Rif ?” tanya Yusuf kepada Arif teman sebangkunya yang ikut berkerumun.
“Ada pengumuman lomba puisi”, jawab Arif sambil menarik tas sekolahnya yang terhimpit anak – anak lain.
“Puisi?” Yusuf semakin penasaran. “Puisi bahasa Indonesia?”
“Aduh, aku tadi tidak sempat baca”,ujar Arif. “Aku didorong – dorong anak – anak. Nanti saja kita lihat lagi. Ayo Suf, masuk kelas, besi bel-nya sudah dipukul”.
Anak – anak berlari berhamburan ke kelas masing – masing. Berbaris berbanjar dua – dua, dan masuk dengan tertib sambil bersalaman dengan guru kelas mereka. Tidak ada guru mata pelajaran di sekolah Yusuf karena keterbatasan tenaga guru.
Guru kelas Yusuf bernama Bu Lastri. Selama mengikuti pelajaran pertama dan kedua, pikiran Yusuf selalu tertuju kepada pengumuman lomba puisi yang diceritakan Arif tadi. Ia memang sudah lama ingin membuat puisi, tapi tidak tahu caranya. Yang ada di benaknya saat ini adalah segera melihat pengumuman itu sekali lagi.
Besi bel sekolah dipukul dua kali, tanda jam istirahat telah tiba. Tanpa membereskan buku – bukunya, Yusuf berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam terlebih dahulu kepada Bu Lastri.
Namun malang bagi Yusuf, ia terlambat lagi. Justru kerumunan teman – temannya semakin banyak di depan pintu ruang guru tempat pengumuman lomba puisi itu ditempelkan.
Tiba – tiba Bu Lastri melintas di depannya dan berusaha keras melalui kerumunan murid – muridnya. Sebuah ide langsung timbul di otaknya.
“Ah, Bu Lastri. Aku tanya sama beliau saja”, kata Yusuf dalam hati.
Yusuf menempelkan punggungnya ke tembok ruang guru, dan perlahan – lahan ia merembet ke pintu. Strateginya berhasil. Sekarang ia sudah masuk ke ruang guru. Tembok ruangan menahan badannya dari dorongan kerumunan teman – temannya yang ternyata tidak semuanya bertujuan melihat pengumuman lomba puisi, tapi hanya sekedar senang main dorong – dorongan.
Perasaan kikuk langsung menyergapnya, ketika kepala sekolah dan semua guru yang ada di dalam ruangan itu memandangnya.
“Ada apa Yusuf ?” gerutu Pak Yanto sang kepala sekolah. “Kamu ikut – ikutan dorong – dorongan, ya?”
“Ti….tidak Pak Yanto, emm maksud saya, Pak Kepala Sekolah, emm, saya mau ketemu Bu Lastri”, jawab Yusuf gugup.
“Ya, sudah, sana ke mejanya, tapi jangan berisik !”
Pak Yanto tidak memperdulikan anggukan Yusuf. Langkahnya sudah berdebam – debam mengimbangi kerumunan anak – anak di depan ruangannya. Pemandangan selanjutnya Pak Yanto sibuk berteriak – teriak membubarkan murid – muridnya.
Yusuf sudah duduk di kursi di depan meja Bu Lastri yang tengah sibuk memilah – milah kertas latihan matematika. Bu Lastri tersenyum kepada Yusuf.
“Ada apa toh, Suf. Kelihatannya kok penting banget?” tanya Bu Lastri dengan logat Jawa Tengahnya yang kental.
Yusuf tidak berani menatap mata Bu Lastri.
“Anu Bu Lastri, saya mau tanya tentang pengumuman lomba puisi yang ada di pintu itu”. Yusuf menengok ke arah pintu.
“Ya, lantas kenapa? Kamu sudah baca kan?” tanya Bu Lastri lagi.
“Belum, Bu”. Yusuf mendongak. “Tadi Arif yang bilang, itu pengumuman lomba puisi”.
“Terus?”
“Apa bisa saya ikut?” Yusuf menunduk lagi. Ia menguatkan hatinya. “Tapi saya tidak bisa bikin puisi.”
Bu Lastri guru kelas lima yang sabar itu memahami maksud Yusuf, lantas ia kembali tersenyum.
“Yo wis, nanti pulang sekolah kamu ke rumah Bu Lastri, ya.”
“Maaf, Bu, kalau pulang sekolah tidak bisa, saya mesti jualan kue dulu”.
Bu Lastri sadar dengan kondisi Yusuf yang harus membantu neneknya berjualan kue, karena ibunya merantau dan bapaknya telah meninggalkannya sejak kecil.
“Baiklah, Suf, habis magrib, kita belajar bikin puisi”
************
Di ruang tamu Bu Lastri, sesuai kesepakatan tadi pagi, Yusuf sudah rapi, mengenakan pecinya yang kekecilan dan sarung neneknya yang agak kedodoran. Ia duduk menunggu dengan gelisah.
“Assalamu’alaikum”, sapa Bu Lastri sambil menyibak kelambu pintu tengah. “Maaf, ya, Bu Lastri habis pengajian”.
“Wa’alaikum salam, tidak apa – apa, Bu”
“Nah, Yusuf, langsung saja ya, kamu mau bikin puisi apa?” tanya Bu Lastri yang langsung duduk di samping Yusuf.
Yusuf kembali gelisah.”Itu yang saya tidak tahu, Bu. Saya ingin menulis puisi tapi tidak tahu apa yang harus saya lakukan”.
“Begini”. Bu Lastri menata duduknya.”Seseorang yang mau bikin puisi harus punya tema puisi, artinya dia harus tahu apa yang akan diceritakan dalam puisinya. Orang yang bikin puisi itu sama halnya orang cerita, hanya saja bentuknya puisi”.
Yusuf melongo semakin tidak mengerti, dan Bu Lastri tahu itu.
“Sebentar, ya?” Bu Lastri masuk ke dalam dan kembali ke ruang tamu dengan membawa buku puisi kecil yang sudah robek sampulnya.
“Coba kamu lihat contoh – contoh puisi ini “ ujar Bu Lastri sambil menyodorkan buku itu kepada Yusuf.
Yusuf membalik halaman demi halaman buku kecil itu sambil mendengarkan penjelasan Bu Lastri.
“Puisimu adalah ceritamu, Suf. Apa yang ingin kamu katakan pada orang lain, kamu ceritakan dengan kata – kata yang singkat dan bermakna kiasan.”
Yusuf benar – benar meradang dan putus asa.
Bu Lastri menghela napas. “Kamu sungguh – sungguh ingin bikin puisi, Suf ? Betul – betul ingin ikut lomba puisi ?”
Yusuf mengangguk.
“ Jangan putus asa. Masih ada waktu lima hari lagi sebelum pendaftaran lomba puisi berakhir. Dan ingat, tidak usah berpikir menang, karena ini lomba untuk tingkat kabupaten, jadi sainganmu sangat banyak”.
***********
Sudah tiga hari ini nenek Yusuf terheran – heran dengan apa yang dilakukan cucunya. Tidak biasanya memang Yusuf mengurung diri di kamar setelah pulang dari jualan kue. Nenek memperhatikan kalau Yusuf selalu menulis sesuatu sampai larut, dan kalau makan malam seperti orang kelaparan.
“Yusuf, kamu kenapa, Nak?” tanya nenek Yusuf saat makan bersama.
Yusuf memandang neneknya dengan mulut penuh. “Tidak kenapa – napa, Nek? Memangnya kenapa?”
Nenek Yusuf tersenyum.”Maaf kalau Nenek penasaran, karena kamu akhir – akhir ini sering di kamar terus, ada masalah apa?”
Yusuf menggeleng sambil melahap tempe. Ia berusaha tersenyum, sehingga tempe yang dikunyahnya tampak di sela – sela giginya.
“ Aku lagi bikin puisi, Nek, buat lomba di kabupaten, kata Bu Lastri, aku harus latihan bikin puisi terus supaya bisa. Nah, Nek, aku sudah selesai makan, aku ke kamar dulu ya?”
Nenek hanya tersenyum. Tapi dalm hati ia lega bahwa Yusuf melakukan kegiatan yang baik dan positif.
***********
Tak terasa sekarang sudah hari kelima, dan Yusuf senang karena naskah puisinya sudah jadi, tapi hari itu yang mengajar di kelas Yusuf adalah Pak Yanto sang kepala sekolah, bukan Bu Lastri. Ah, kemana beliau pikir Yusuf.
“Kenapa kamu tanya Bu Lastri ?” bentak Pak Yanto waktu Yusuf menanyakan keberadaan Bu Lastri.
Yusuf menjelaskan bahwa ia akan mengirimkan naskah puisinya untuk lomba puisi di kabupaten, dan Bu Lastri yang tahu harus mengirim kemana.
“Bu Lastri sakit, kamu ke rumahnya saja,” sungut Pak Yanto
Yusuf seperti disambar petir. Habis sudah harapannya. Matanya memerah, dan air matanya hampir – hampir tumpah.
Tiba – tiba Arif teman sebangkunya menepuk bahunya,”Jangan sedih, Suf, ayo kita ke rumah Bu Lastri, siapa tahu ada jalan keluarnya.”
Sepulang sekolah, segera saja Yusuf membonceng sepeda Arif meluncur ke rumah Bu Lastri. Mereka tidak perduli jalan makadam dan berlubang yang dilewati. Setiba di rumah Bu Lastri, Yusuf langsung melompat ke teras rumahnya.
“Assalamu’alaikum…..Bu Lastri,” seru Yusuf tidak sabar.
“Assalamu’alaikum…” Arif menyusul dari belakang tak kalah kerasnya.
Untunglah Bu Lastri segera menjawab, “Wa’alaikum salam”
Pintu depan dibuka, dan dengan terengah – engah Yusuf memberondong Bu Lastri dengan banyak pertanyaan.
“Bu Lastri kenapa tidak masuk tadi? Sakit apa? Apa Bu Lastri bisa mengantarkan saya mengirim puisi? Saya sudah bikin puisi, Bu.”
“Duduk dulu, Yusuf, Arif ,” kata Bu Lastri dengan suara lemah.
Yusuf menurut, ia duduk berhimpitan dengan Arif, dan tak sabar mendengarkan kata – kata Bu Lastri.
“Bu Lastri terkena usus buntu, jadi tadi tidak masuk. Kamu tidak usah kecewa, Suf, karena sebenarnya Bu Lastri sudah mendaftarkan kamu ke panitia lomba puisi, hanya saja Bu Lastri tidak bisa mengantarmu besok.”
Yusuf dan Arif berpandang – pandangan kebingungan.
“Jadi saya harus bagaimana, Bu?” tanya Yusuf tidak mengerti
Bu Lastri memandang iba kepada Yusuf. Ia merasa kasihan kepada Yusuf yang tampak bersungguh – sungguh untuk mengikuti lomba. Tapi ia juga tidak bisa memaksakan tubuhnya yang masih lemah. Ia berpikir sebentar
“Begini ya, Suf. Bu Lastri minta maaf. Badan Bu lastri masih lemah, jadi tidak bisa mengantarmu ke kabupaten. Tapi Ini ada alamat panitianya, coba besok kamu cari, dan ini formulir pendaftarannya. Maaf ya, Suf, Bu Lastri tidak bisa mendampingi kamu.”
“Bukankah besok saya harus sekolah?” tanya Yusuf semakin panik.
“Tenang saja, Bu Lastri sudah ijinkan kamu ke Pak Kepala Sekolah,” ujar Bu Lastri. “Sekarang kamu pulang, lalu pikirkan caranya sampai ke balai kabupaten ya? Bu Lastri masih pusing dan mual.”
Akhirnya Yusuf berjalan pulang dengan gontai. Naskah puisinya, Formulir Pendaftarannya, dan alamat panitia yang diberi Bu Lastri dibiarkan kusut ditiup angin dan terkena rintik gerimis yang mulai turun. Pikirannya sangat kacau dan kecewa yang amat sangat.
Ia tidak punya ongkos untuk ke kota kabupaten dan tidak ada yang mengantarnya ke tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, sedangkan jarak desanya ke kota kabupaten hampir 70 kilometer. Namun ia ingat pesan Bu Lastri sebelum meninggalkan rumahnya, bahwa ia tidak boleh menyerah sebelum apa yang diinginkannya tercapai.
Hujan telah turun. Yusuf berteduh di pangkalan ojek di dekat pasar desa. Tiba – tiba ia melihat sebuah truk pengangkut pasir merapat ke warung nasi di sebelah pangkalan ojek itu. Ia mendengar percakapan sopir truk dan temannya di warung itu kalau besok sesudah subuh ia harus ke kabupaten untuk kirim pasir.
Ide Yusuf langsung muncul. Ia menghampiri sopir truk itu dan memohon supaya truknya mau ditumpangi hingga ke alamat panitia lomba itu besok.
Sopir truk itu membaca sebentar alamat yang disodorkan Yusuf, lalu ia memandang Yusuf dari atas ke bawah.
“Ya, sudah kamu boleh ikut, tapi sesudah subuh kamu sudah harus di warung ini, dan jangan telat,” ujar sopir truk itu tegas.
“Terima kasih, Pak”, jawab Yusuf dengan sangat gembira
************

Keesokannya, persis setelah sholat subuh, Yusuf langsung menyambar tas-nya yang di dalamnya sudah ada bekal mi goreng dari neneknya. Nenek Yusuf tahu watak cucunya yang pantang menyerah, karena itu ia tidak melarang ketika Yusuf pamit menumpang truk demi mengikuti lomba puisi di kabupaten.
“Terima kasih Nek. Nenek sudah mau mengijinkan Yusuf berangkat. Do’akan Yusuf sampai di tempat lomba ya, Nek”, kata yusuf sambil mencium tangan Neneknya.
“Ya, Nak. Nenek do’akan perjalananmu lancar”, jawab Nenek dengan suara bergetar menahan haru. Ia teringat ayah Yusuf yang entah dimana keberadaannya, dan ibu Yusuf yang kini menjadi TKW di Taiwan
Yusuf kini tengah terguncang – guncang dan kedinginan di atas truk pengangkut pasir. Ternyata sang sopir tidak mengijinkan Yusuf untuk duduk di jok depan, karena ada dua temannya yang juga menumpang. Akhirnya Yusuf harus rela duduk di bak belakang yang berisi penuh tumpukan pasir. Sepanjang perjalanan itu Yusuf berdo’a supaya kedatangannya nanti tidak terlambat.
Sekitar tiga jam kemudian barulah truk memasuki kota kabupaten, karena truk pasir itu harus bongkar muat sampai empat kali di tempat – tempat yang berbeda. Yusuf mengira tempat lomba puisi sudah dekat, ia pun turun dari bak truk pasir dengan gembira.
“Tempatmu masih jauh, Nak, dua kilometer lagi dari sini ke utara, kamu jalan sendiri, ya? Kami berhenti di sini. Kalau kesasar, coba kamu tanya orang – orang di jalan”, kata sang sopir.
Yusuf terperangah, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menuruti kata – kata sopir itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Yusuf berjalan ke arah utara. Di tengah kebingungannya itu, ia berdo’a supaya mendapatkan petunjuk untuk bisa segera sampai di tempat lomba
Beruntung bagi Yusuf, di tengah jalan ia bertemu polisi lalu lintas yang sedang bertugas. Dengan memberanikan diri, ia menanyakan arah dan tempat alamat panitia lomba puisi kepada polisi itu.
“Kamu dari mana, Nak?” tanya polisi it dengan ramah
“Saya dari desa, Pak. Saya ingin ikut lomba puisi. Saya diberi alamat panitia lomba dengan guru saya, tapi beliau tidak bisa mengantar saya karena sakit.”
“Alamat ini tidak jauh, kok. Kamu tunggu sebentar, ya. Saya antar saja kamu ke sana supaya tidak terlambat.”
Yusuf sangat senang mendengarnya “Terima kasih banyak pak Polisi.
Akhirnya, Yusuf dibonceng oleh polisi yang baik hati itu menuju ke tempat lomba itu di balai kabupaten, dan memang ia nyaris terlambat.
Yusuf segera menghambur ke balai kabupaten setelah mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan polisi itu.
Dengan masih terengah – engah Yusuf menyerahkan naskah puisinya dan formulir pendaftarannya kepada panitia. Ia menjelaskan bahwa Bu Lastri, gurunya, sakit dan tidak bisa mengantarnya. Ia memohon kepada panitia agar diikutkan sebagai peserta lomba meskipun hampir terlambat dan naskahnya lusuh.
“Naskah puisimu kami terima,” kata ketua panitia dengan agak sangsi saat melihat naskah dan formulir pendaftaran Yusuf yang menyedihkan. “Dan karena kamu tidak punya salinan naskah, terpaksa kamu nanti membaca puisi tanpa naskah di panggung. Naskah aslimu ini untuk panitia. Bagaimana? Sanggup?”
Tanpa berpikir panjang Yusuf mengangguk, “Sanggup, Pak.”
Yusuf duduk di bangku peserta. Ia agak minder karena penampilannya yang kacau. Seragam sekolahnya kecoklatan terkena pasir, rambutnya awut – awutan, dan perutnya mengeluarkan suara kelaparan karena belum sempat sarapan. Tapi ia tetap menahan dirinya untuk tetap kuat meskipun banyak peserta dan pendampingnya yang memandang dirinya dengan aneh dan merendahkan.
Lalu tiba – tiba panitia memanggilnya lewat pengeras suara.
“Baiklah, untuk selanjutnya adalah peserta terakhir,”seru sang pembawa acara yang mengagetkan Yusuf dan langsung demam panggung. “Yusuf dari SD Gumukmas 1, kami persilahkan.”
Seluruh pandangan mata tertuju kepada Yusuf. Ia menyeret kakinya yang tiba – tiba menjadi berat. Ia naik ke panggung dan melihat nanar ke seluruh penonton. Dengan sekuat tenaga ia keluarkan suaranya untuk mengucapkan puisinya tanpa naskah.

Kepada Bapak dan Ibuku

Bapak…. Ibu…… di mana kalian sekarang
Hatiku sedih saat teman – temanku bertanya,
“Di mana orang tuamu?”
Hatikupun gundah saat teman – temanku bertanya,
“Kenapa hanya nenekmu yang mengambil raportmu?”
Tapi, aku tidak bisa bicara apa – apa
Yang bisa aku lakukan hanyalah menggeleng dan menjawab :
Aku tidak tahu
Aku tidak tahu dimana Bapak dan Ibuku
Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa supaya kalian pulang dan melihat betapa tampannya aku
Bapak…. Ibu…… di manapun kalian berada
Aku yakin Allah akan melindungi kalian semua
Dan aku yakin, meskipun jauh, tapi pasti kalian tahu
Bahwa sekarang aku berdiri membacakan puisi untuk kalian
Di depan semua orang
Bahwa aku mencintai dan menyayangi kalian
Dan aku ingin kita berkumpul bersama lagi

Dari anakmu, Yusuf